Sulseltimes.com Makassar — Proses hukum lamban dalam kasus dugaan kekerasan seksual terhadap siswi penyandang disabilitas di Sekolah Luar Biasa (SLB) Laniang Makassar memicu aksi unjuk rasa puluhan mahasiswa di bawah bendera Srikandi Sulsel di depan Polrestabes Makassar, Kamis (30/1).
Mereka menuntut aparat penegak hukum (APH) segera mengusut tuntas kasus yang menimpa korban sejak November 2024 lalu.
Kronologi Guru SLB Diduga Jadi Pelaku

Kasus ini bermula ketika seorang siswi SLB Laniang dilaporkan mengalami kekerasan seksual oleh oknum guru di sekolah tersebut.
Meski laporan telah masuk sejak akhir 2024, proses hukum terhambat karena berkas dikembalikan Kejaksaan Negeri Makassar dua kali dengan alasan kelengkapan administrasi.
“Kami telah melimpahkan berkas ke Kejaksaan pada 12 Desember 2024, tetapi dikembalikan 18 Desember karena dianggap belum lengkap,” akui Iptu Hartawan, Kanit PPA Polrestabes Makassar, saat berhadapan dengan massa aksi.
Pernyataan ini memantik kritik tajam dari para pengunjuk rasa.
APH Tidak Berpihak pada Korban!
Rudi Ahmadi, Jenderal Lapangan aksi Srikandi Sulsel, mengecam lambannya penanganan kasus ini. Dalam orasinya, ia menegaskan,
“aksi oknum guru ini mencoreng dunia pendidikan dan mengabaikan nilai kemanusiaan. APH harus bertindak cepat sesuai UU TPKS!”
Aksi yang berlangsung 30 menit itu memaksa pihak kepolisian turun tangan.
Namun, massa menolak mediasi tertutup.
“Kami ingin transparansi, bukan rahasia!” teriak salah satu peserta aksi.
Janji “P21” dan Pengawalan Propam
AKP H. Ramli Jr S.H dari Propam Polrestabes Makassar berupaya meredakan ketegangan dengan jawaban diplomatis.
“Proses hukum sedang berjalan. Jika ada pelanggaran, serahkan ke kami. InsyaAllah berkas segera P21, ujar Ramli .”
Namun, janji ini dinilai mengambang oleh korlap aksi.
“Mediasi hanya basa-basi. Buktinya, sejak November hingga kini, tidak ada perkembangan berarti,” protes Rudi.
Berdasarkan catatan Komnas Perempuan Sulsel, 65% kasus kekerasan seksual di Sulawesi Selatan dalam 5 tahun terakhir mangkrak di meja penyidik.
“Korban disabilitas sering dianggap tak punya daya lobi, jadi prioritasnya rendah,” ungkap aktivis LBH Makassar Fatmawati Djafar kepada awak media (31/1).