Sulseltimes.com, Makassar — Perkembangan penanganan kasus kekerasan seksual terhadap seorang bocah perempuan berusia 6 tahun, siswi TK Bhayangkari Brimob Makassar, semakin memprihatinkan dan menimbulkan tanda tanya besar terkait keseriusan aparat penegak hukum dalam menindak pelaku kekerasan terhadap anak.
Pelaku berinisial AL (35) sempat diamankan oleh pihak kepolisian pada Selasa malam, 7 Mei 2025 sekitar pukul 21.00 WITA. Namun, berdasarkan keterangan dari warga sekitar tempat tinggal AL, pria tersebut terlihat kembali berada di rumahnya pada Kamis pagi, 9 Mei 2025. Kabar ini memicu kekhawatiran sekaligus keresahan dari pihak pelapor dan pemerhati isu perlindungan anak.
Pelapor, H (33), yang merupakan ibu sambung dari korban, saat di konfirmasi awak media melalui seluler, Kamis (8/5/2025), mengungkapkan bahwa dirinya justru mendapat tekanan dari aparat yang menangani kasus tersebut. Ia menunjukkan pesan singkat yang diterimanya dari seorang penyidik yang menyarankan agar ia mencabut laporan.
“Disuruh ka ke kantor polisi pak, cabut laporan na bilang polisi apa mau ku,” kata H sambil memperlihatkan isi pesan yang dikirimkan penyidik kepadanya.
Menurut H, bukan hanya permintaan mencabut laporan yang ia terima, namun juga tekanan lain berupa desakan untuk mencari saksi tambahan, meskipun seharusnya hal itu menjadi tanggung jawab aparat penegak hukum dalam proses penyelidikan.
Yang lebih mengkhawatirkan, pelaku kekerasan seksual tersebut ternyata adalah kakak kandung dari ayah biologis korban. Hubungan kekerabatan ini semakin memperlemah posisi H sebagai ibu sambung yang tidak memiliki kedekatan darah dengan korban, namun selama ini menjadi sosok pengasuh utama. H menyatakan ketakutannya terhadap tekanan yang datang baik dari keluarga pelaku maupun dari lingkungan sekitar.
“Saya takut. Posisi saya bukan ibu kandung, dan keluarga pelaku itu dekat dengan ayah korban. Sekarang pelaku katanya sudah di rumah lagi. Saya tidak tahu harus bagaimana, apalagi saya terus ditekan,” tuturnya dengan suara gemetar.
Pengamat sosial dan kemasyarakatan, M. Jupri, mengecam keras situasi ini. Menurutnya, kasus seperti ini seharusnya menjadi prioritas kepolisian, mengingat korbannya adalah anak di bawah umur yang jelas-jelas mengalami kekerasan seksual, disertai bukti medis.
“Fakta bahwa pelaku memiliki hubungan darah dengan ayah korban seharusnya menjadi alarm bagi penyidik agar lebih cermat dalam menghindari potensi konflik kepentingan. Perlindungan terhadap pelapor dan korban menjadi kewajiban mutlak. Ini bukan hanya masalah etik, tapi juga soal integritas lembaga penegak hukum,” tegas Jupri.
Ia mendesak Kapolda Sulawesi Selatan dan Kapolrestabes Makassar untuk segera turun tangan memeriksa kinerja penyidik dalam kasus ini, serta menelusuri kemungkinan adanya pelanggaran etik, kelalaian prosedur, atau bahkan intimidasi terhadap pelapor.
Senada dengan itu, Ketua Tim Reaksi Cepat UPT PPA Kota Makassar, Makmur, menegaskan bahwa perlindungan terhadap korban dan pelapor harus menjadi prioritas utama dalam penanganan kasus kekerasan seksual, terlebih terhadap anak.
“Undang-undang sudah sangat tegas. Baik UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), UU Perlindungan Anak, maupun UU Perlindungan Saksi dan Korban, semuanya mengatur tentang kewajiban negara untuk melindungi korban dan saksi dari tekanan, intimidasi, dan ancaman,” jelas Makmur.
Untuk diketahui, kasus ini pertama kali dilaporkan ke pihak kepolisian pada 20 Februari 2025. Berdasarkan keterangan pelapor, tindakan pelecehan seksual terjadi pada 15 September 2024. Saat itu, H memergoki pelaku tengah memasukkan tangan ke bagian kemaluan korban di lantai dua rumah mereka di Jalan Banta-Bantaeng, Kecamatan Rappocini, Makassar.
Hasil visum menunjukkan korban mengalami pulpa vaginitis, infeksi, serta trauma fisik dan psikis yang diduga kuat akibat kekerasan seksual yang dialaminya.
Kini, H menyatakan tengah menyiapkan pendampingan hukum dan mempertimbangkan untuk melaporkan tindakan penyidik ke Bidang Profesi dan Pengamanan (Propam) Polda Sulsel. Ia juga berencana mengajukan permohonan perlindungan hukum ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) demi menjamin keselamatan dirinya dan korban. (And)