Sulsel Times Medan — Sebuah insiden menyedihkan yang melibatkan seorang siswa Sekolah Dasar (SD) di Kota Medan, Sumatera Utara, mencuat setelah video viral menunjukkan seorang anak berinisial MI (10) dipaksa belajar di lantai karena menunggak pembayaran SPP selama tiga bulan.
Kejadian ini menyoroti isu mendesak tentang hak pendidikan anak dan perlakuan yang diterima siswa yang berasal dari keluarga kurang mampu.
Peristiwa ini terjadi di SD Yayasan Abdi Sukma Medan pada 6 Januari 2025, saat proses belajar mengajar baru dimulai setelah libur semester.
MI, seorang siswa kelas IV, duduk di lantai keramik ruang kelas dari pukul 08.00 hingga 13.00 setiap hari.
Hukuman itu diberikan oleh wali kelasnya, berinisial HRYT, karena orang tua MI belum melunasi tunggakan SPP sebesar Rp 180.000 selama tiga bulan terakhir.
Awal Mula Kasus

Kamelia (38), ibu dari MI, merasa terpukul saat mengetahui anaknya dipaksa duduk di lantai. Sebagai seorang relawan Jaringan Pendamping Kebijakan Pembangunan (JPKP), Kamelia terbiasa membantu masyarakat, tetapi situasi ekonomi keluarganya tidaklah mudah.
Suaminya bekerja sebagai kuli bangunan, dan pendidikan anaknya bergantung pada bantuan dari Program Indonesia Pintar (PIP) dan dana BOS. Sayangnya, pencairan dana PIP di akhir 2024 belum juga diterima, yang menyebabkan keterlambatan pembayaran SPP MI.
“Saya lihat anak saya duduk di lantai, nggak boleh belajar. Saya sedih sekali. Kalau mau menghukum, hukum saya saja, jangan anak saya,” ungkap Kamelia dengan suara bergetar, Jumat (10/1/2025).
Kamelia menjelaskan, sebelum hukuman tersebut dijatuhkan, ia telah meminta dispensasi kepada pihak sekolah agar anaknya tetap dapat mengikuti ujian semester pada Desember 2024.
Permohonan ini diterima, tetapi rapor anaknya ditahan oleh pihak sekolah sebagai konsekuensi tunggakan. Ia bahkan sempat berencana menjual telepon genggamnya untuk melunasi biaya SPP anaknya.
Hukuman Duduk di Lantai dan Respon Guru
Saat MI kembali ke sekolah pada 6 Januari 2025, wali kelas HRYT langsung memerintahkannya untuk duduk di lantai.
Menurut penuturan Kamelia, wali kelas mengatakan bahwa peraturan sekolah melarang siswa mengikuti pelajaran jika belum melunasi SPP.
“Anak saya disuruh pulang, tapi dia tidak mau. Akhirnya, wali kelas menyuruh dia duduk di lantai,” kata Kamelia menirukan ucapan guru tersebut.
MI merasa malu dan tertekan dengan perlakuan tersebut, namun tetap datang ke sekolah karena semangat belajarnya yang tinggi.
Pengumuman melalui grup WhatsApp wali murid sebelumnya telah menyebutkan bahwa siswa yang belum melunasi SPP tidak diperkenankan mengikuti pelajaran.
Namun, Kamelia mengira hal itu hanya candaan dan tidak akan benar-benar diterapkan.
Klarifikasi dari Sekolah dan Yayasan
Kepala Sekolah Yayasan Abdi Sukma, Juli Sari, mengakui adanya miskomunikasi antara pihak sekolah dan wali kelas.
Ia menegaskan bahwa tidak ada kebijakan sekolah yang menginstruksikan siswa untuk duduk di lantai sebagai hukuman atas tunggakan SPP.
“Wali kelas membuat aturan sendiri tanpa konfirmasi dengan pihak sekolah. Kami telah meminta maaf kepada orang tua siswa,” kata Juli, Sabtu (11/1/2025).
Ketua Yayasan Abdi Sukma, Ahmad Parlindungan, juga mengonfirmasi bahwa guru berinisial HRYT telah diskors sebagai langkah awal. “Guru H melakukan tindakan tersebut atas inisiatif sendiri. Kami sedang mendiskusikan langkah lebih lanjut,” ujarnya.
Reaksi Publik dan Bantuan yang Datang
Kisah ini segera viral di media sosial, menarik perhatian publik dan mengundang simpati dari berbagai pihak.
Beberapa relawan dan tokoh masyarakat menawarkan bantuan untuk melunasi tunggakan SPP MI.
Anggota DPRD Sumatera Utara, Ikhwan Ritonga, mengecam keras tindakan tersebut dan berjanji membantu melunasi SPP hingga MI tamat sekolah.
“Masalah SPP seharusnya menjadi urusan antara pihak sekolah dan orang tua, bukan melibatkan siswa. Hukuman seperti ini sangat tidak manusiawi,” tegas Ikhwan.
Kepala Dinas Pendidikan Kota Medan, Benny Sinomba Siregar, juga memberikan pernyataan terkait insiden ini. Ia menyebut bahwa pihaknya telah meminta laporan lengkap dari yayasan untuk diajukan kepada Ombudsman perwakilan Sumatera Utara pada awal pekan depan.
Kasus ini memicu diskusi tentang pentingnya kebijakan pendidikan yang adil dan berempati terhadap siswa dari keluarga kurang mampu.
Perlakuan yang diterima MI tidak hanya melukai harga dirinya sebagai anak, tetapi juga mencoreng nilai-nilai pendidikan yang seharusnya inklusif dan mendukung semua kalangan.
Kamelia, meskipun merasa malu dengan kejadian ini, berharap insiden tersebut dapat menjadi pelajaran bagi semua pihak.
“Anak saya hanya ingin belajar. Tolong jangan ada lagi anak yang dipermalukan karena kesulitan ekonomi,” ujarnya.
Di sisi lain, insiden ini juga menjadi pengingat akan pentingnya komunikasi yang baik antara sekolah, yayasan, dan orang tua siswa untuk mencegah terulangnya kejadian serupa di masa depan.
Kasus MI yang dipaksa belajar di lantai karena tunggakan SPP menyoroti isu-isu mendalam dalam dunia pendidikan, mulai dari ketidakadilan perlakuan hingga tantangan ekonomi bagi keluarga kurang mampu.
Sementara perhatian publik terus mengalir, diharapkan bahwa langkah-langkah konkret dapat diambil untuk memastikan bahwa insiden ini tidak terulang kembali, sehingga setiap anak dapat menikmati haknya untuk belajar tanpa diskriminasi.