Sulseltimes.com Jakarta — Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Sultan B. Najamuddin, mengusulkan dana zakat sebagai salah satu solusi untuk mendanai program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang telah berjalan di 190 titik di 26 provinsi di Indonesia.
Usulan ini menimbulkan berbagai tanggapan dari berbagai pihak, mulai dari dukungan hingga kritik tajam yang mempertanyakan kesesuaiannya dengan hukum agama dan prinsip penggunaan zakat.
Sultan menjelaskan bahwa MBG bertujuan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) Indonesia, khususnya anak-anak dan ibu hamil.
Program ini tidak hanya memberikan asupan gizi tetapi juga menjadi bentuk gotong-royong masyarakat.
Menurut Sultan, dana zakat yang jumlahnya besar dapat dimanfaatkan untuk mendukung keberlanjutan program tersebut, seiring dengan keterbatasan anggaran negara.
“Kenapa tidak zakat kita yang luar biasa besarnya ini kita manfaatkan? Ini bisa menjadi salah satu contoh bagaimana kita melibatkan masyarakat umum,” ujar Sultan pada Selasa (14/1/2025) di Gedung DPR RI.
Namun, usulan ini memunculkan perdebatan sengit terkait ketentuan penggunaan zakat yang diatur dalam syariat Islam.
Pandangan Ulama dan Tokoh Agama
Wakil Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN), Saleh Partaonan Daulay, menyatakan bahwa penggunaan zakat untuk program pemerintah harus mendapatkan pandangan ulama terlebih dahulu.
Menurutnya, zakat memiliki ketentuan penerima yang spesifik, seperti fakir, miskin, dan kategori lain yang diatur dalam Al-Qur’an.
“Persoalan ini menyangkut hukum agama. Apakah penerima MBG dapat dikategorikan sebagai penerima zakat? Perlu ada diskusi mendalam dengan ulama dari NU, Muhammadiyah, dan MUI,” jelas Saleh.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Anwar Abbas juga menegaskan bahwa penggunaan dana zakat hanya diperbolehkan jika penerimanya berasal dari kelompok fakir dan miskin.
Jika dana digunakan untuk masyarakat umum yang tidak masuk kategori tersebut, maka hal ini dapat bertentangan dengan hukum Islam.
Kritik dari Pemerintah dan Akademisi
Kepala Staf Kepresidenan AM Putranto menilai usulan ini sebagai langkah yang tidak pantas dan memalukan, mengingat zakat memiliki peruntukan yang telah diatur.
“Pemerintah sudah mengalokasikan Rp71 triliun untuk program ini. Dana zakat tidak boleh digunakan sembarangan,” tegas Putranto di Istana Kepresidenan, Rabu (15/1/2025).
Putranto menekankan bahwa dana zakat harus tetap pada jalur yang ditetapkan syariat, dan program MBG seharusnya didanai melalui APBN atau sumber lain yang tidak bertentangan dengan prinsip keagamaan.
Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf, mengusulkan bahwa dana infak dan sedekah dapat menjadi solusi alternatif.
Dana ini lebih fleksibel penggunaannya dibandingkan zakat.
Yahya juga mengapresiasi upaya untuk melibatkan masyarakat melalui donasi sukarela untuk memperkaya menu gizi pada program MBG.
Usulan Ketua DPD RI Sultan Najamuddin mengenai pendanaan MBG melalui zakat menghadirkan wacana yang kompleks dan membutuhkan kajian mendalam.
Meski niatnya baik, realisasinya harus mempertimbangkan aspek syariah, hukum, serta keberlanjutan anggaran negara.
Dalam konteks ini, pendekatan berbasis infak dan sedekah mungkin menjadi jalan tengah yang dapat diterima semua pihak, tanpa menimbulkan kontroversi berlebihan.
Polemik ini mencerminkan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, ulama, dan masyarakat dalam mengatasi tantangan sosial.
Dengan diskusi yang lebih terbuka dan menyeluruh, program MBG dapat terus berjalan dan membawa manfaat besar bagi generasi penerus bangsa.