Sulseltimes.com Makassar, Rabu, 05/11/2025 — Sengketa kepemilikan lahan seluas 16,4 hektare di kawasan Metro Tanjung Bunga, Makassar, kembali menghangat.
Tanah yang selama ini diklaim Kalla Group dan PT GMTD Tbk kini juga dinyatakan sebagai milik pengusaha Mulyono Tanuwijaya alias Tan Fu Yong yang berusia 78 tahun.
Melalui kuasa hukumnya, Mulyono menyampaikan kronologi panjang jual beli tanah, pembatalan sertifikat, hingga laporan pidana yang berujung penghentian penyelidikan.
Kronologi Versi Mulyono Tanuwijaya
Dalam penjelasan tertulis tiga halaman yang dikirimkan ke sejumlah media, pihak Mulyono memulai cerita dari kepemilikan awal tanah di Tanjung Bunga.
Tanah tersebut disebut berasal dari almarhum Abdul Hamid Daeng Lau.
Pada 4 Juni 1990, anak Abdul Hamid yang bernama Abdul Gaffar Hamid Daeng Ngalle menjual tanah itu kepada Pammmusureng MG.
Transaksi diformalkan melalui beberapa Akta Jual Beli yang dibuat di hadapan Camat Tamalate selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah sementara di Kota Makassar.
Sekitar dua bulan kemudian, Pammmusureng menjual kembali tanah yang baru dibelinya itu kepada Mulyono Tanuwijaya.
Akta jual beli kali ini disusun oleh PPAT Andi Massurappi di Kota Makassar.
Dalam perjanjian jual beli, para pihak sepakat akan mengurus Sertifikat Hak Milik atau SHM atas tanah girik tersebut bersama Abdul Gaffar Hamid Daeng Ngalle sebagai ahli waris pemilik awal.
Setelah sertifikat terbit, SHM itu direncanakan diserahkan kepada Mulyono sebagai pemilik baru.
Upaya penerbitan SHM kemudian menemukan fakta bahwa lahan yang sama telah memiliki Sertifikat Hak Milik bernomor 25 Tahun 1970.
Sertifikat itu ternyata pernah digadaikan kepada seorang bernama Iskandar Jafar.
Pihak Mulyono menuding Pammmusureng dan Abdul Gaffar sebagai pihak yang menggadaikan sertifikat tersebut.
Mulyono mengklaim kemudian menebus sertifikat yang digadaikan itu.
Enam tahun setelah pembelian, tepatnya 1996, muncul tiga pihak lain yang menyatakan memiliki hak waris atas tanah berkode SHM Nomor 25 Tahun 1970.
Mereka adalah Andi Muda Daeng Serang, Andi Baso Daeng Gassing, dan Andi Husna Daeng Jia.
Ketiganya mengaku sebagai ahli waris Bunta Karaeng Mandalle.
Mereka menggugat Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Gowa ke Pengadilan Tata Usaha Negara Ujung Pandang untuk membatalkan SHM Nomor 25 Tahun 1970.
PTUN Ujung Pandang mengabulkan gugatan tersebut.
Putusan majelis hakim yang dibacakan pada 15 Maret 1997 menyatakan SHM Nomor 25 Tahun 1970 batal.
Setelah putusan itu, para penggugat mengajukan pembaruan sertifikat dan terbitlah SHM baru bernomor 3307 Tahun 1997.
Sertifikat baru inilah yang kemudian digunakan sebagai dasar penjualan lahan kepada PT GMTD Tbk.
Situasi berubah ketika BPN Gowa menempuh upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung pada 2008.
Permohonan PK diajukan setelah BPN mengklaim menemukan bukti baru atau novum yang dianggap penting.
Majelis hakim Mahkamah Agung melalui putusan perkara bernomor 26 PK TUN 2008 pada 22 September 2008 membatalkan putusan PTUN Ujung Pandang tahun 1997.
Artinya, keputusan yang pernah membatalkan SHM Nomor 25 Tahun 1970 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Namun dalam catatan pihak Mulyono, SHM Nomor 25 Tahun 1970 tidak secara eksplisit dipulihkan dan sertifikat baru SHM Nomor 3307 Tahun 1997 juga tidak sekaligus dibatalkan.
Status keduanya kemudian menimbulkan tafsir berbeda di lapangan.
Menurut penjelasan Mulyono, ia tetap menguasai lahan setelah putusan PK Mahkamah Agung itu.
Pada 2022, ahli waris Abdul Gaffar Hamid Daeng Ngalle bersama kuasa hukum Salasa Albert melaporkan Mulyono ke Polda Sulawesi Selatan.
Laporan tersebut memuat dugaan pemalsuan surat dan pencurian terkait penguasaan tanah.
Penyidik Ditreskrimum Polda Sulsel melakukan serangkaian pemeriksaan terhadap para pihak dan dokumen.
Hasilnya, penyidik menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyelidikan atau SP3 pada 2024.
Dalam surat itu, penyidik menyimpulkan tanah yang dimaksud telah berpindah menjadi milik Mulyono Tanuwijaya melalui mekanisme jual beli yang dinilai sah menurut peraturan perundang undangan.
Di luar perkara sengketa ini, Mulyono dikenal sebagai pengusaha real estat yang telah berkecimpung sejak awal 1970 an.
Ia lahir di Bone, Sulawesi Selatan, pada 15 Januari 1947.
Wilayah Bone juga merupakan kampung halaman tokoh pengusaha nasional Jusuf Kalla dan Haji Kalla yang menjadi pendiri Kalla Group.
Dalam sengketa Tanjung Bunga, Mulyono menegaskan klaimnya sebagai pemilik awal yang sah atas tanah 16,4 hektare tersebut, selain klaim Kalla Group dan GMTD yang sudah lebih dulu mengemuka.
Klaim Kalla Group dan GMTD di Kawasan Tanjung Bunga
Di sisi lain, Kalla Group menyatakan bahwa lahan 16 hektare di kawasan Metro Tanjung Bunga sudah dikuasai secara fisik sejak 1993.
Melalui pernyataan Chief Legal and Sustainability Officer Kalla, Subhan Djaya Mappaturung, perusahaan menegaskan memiliki serangkaian sertifikat Hak Guna Bangunan yang diterbitkan BPN dan masih berlaku hingga 2036.
Hak Guna Bangunan atau HGB adalah hak untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu tertentu.
Umumnya hak ini diberikan selama maksimal 30 tahun dan dapat diperpanjang hingga 20 tahun berikutnya.
Kalla menyebut HGB yang mereka miliki bernomor 00695, 00696, 00697, dan 00698.
Perolehan hak tersebut diperkuat Akta Pengalihan Hak atau Akta Pelepasan Hak bernomor 37 yang dibuat oleh pejabat berwenang.
Perusahaan menilai dokumen ini cukup untuk menunjukkan dasar hukum penguasaan lahan.
Sehari sebelum pernyataan Kalla dipublikasikan, PT GMTD Tbk juga telah menyampaikan posisi resminya.
Perusahaan yang menjadi pengembang utama kawasan Metro Tanjung Bunga itu menyatakan lahan yang kini disengketakan diperoleh melalui proses pembelian dan pembebasan tanah pada periode 1991 hingga 1998.
Presiden Direktur PT GMTD Tbk Ali Said menjelaskan bahwa seluruh proses tersebut dilakukan secara sah, transparan, dan mengikuti ketentuan hukum.
Menurut dia, pada masa itu PT GMTD Tbk ditetapkan sebagai pihak yang memiliki hak tunggal untuk melakukan pembebasan, pembelian, dan pengelolaan lahan di kawasan Metro Tanjung Bunga.
GMTD menilai pihak lain yang mengklaim telah melakukan pembelian atau pembebasan lahan dalam periode yang sama tidak memiliki dasar hukum.
Perusahaan menyebut tindakan tersebut sebagai perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan kewenangan resmi yang telah diberikan pemerintah.
Penetapan Tanjung Bunga sebagai Kawasan Wisata Terpadu
Ali Said merujuk beberapa keputusan pemerintah yang menetapkan Tanjung Bunga sebagai kawasan wisata terpadu.
Keputusan itu antara lain.
Keputusan Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi tertanggal 8 Juli 1991 yang membuka jalan penetapan pengembangan kawasan.
Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan tertanggal 5 November 1991 mengenai penetapan kawasan seluas 1.000 hektare di Tanjung Bunga.
Keputusan Gubernur tertanggal 6 Januari 1995 yang menegaskan kembali status kawasan pengembangan.
Keputusan Gubernur tertanggal 7 Januari 1995 yang memuat penegasan sekaligus larangan mutasi tanah di kawasan tersebut.
Deretan keputusan itu dijadikan dasar bahwa GMTD merupakan satu satunya pengelola resmi yang berwenang membebaskan lahan di kawasan Metro Tanjung Bunga pada era tersebut.
Hingga kini, benturan klaim antara Mulyono Tanuwijaya, Kalla Group, dan GMTD menunjukkan betapa kompleksnya riwayat hukum lahan di kawasan pesisir Makassar itu.
Publik menunggu langkah lanjutan para pihak dan kejelasan dari otoritas pertanahan agar kawasan Tanjung Bunga memiliki kepastian hukum yang kuat untuk pengembangan ke depan.


















