Sulseltimes.com Jakarta, 31 Agustus 2025 — Rumah Uya Kuya dijarah massa pada Minggu dini hari (31/8/2025) usai gelombang protes nasional yang terus meluas.
Video amatir memperlihatkan kondisi rumah di kawasan Duren Sawit, Jakarta Timur, porak-poranda. Perabot berserakan, dinding dicoret dengan tulisan bernada hinaan, dan sebagian barang berharga dilaporkan hilang.
- Rumah Uya Kuya di Duren Sawit dijarah massa
- Kondisi rumah hancur, barang berserak, coretan di dinding
- Peristiwa buntut demo nasional menolak tunjangan DPR
- Nama Uya Kuya jadi sorotan bersama Eko Patrio dan Ahmad Sahroni
- Massa menilai perilaku elite DPR jauh dari empati publik
Kondisi Rumah Uya Kuya Pasca Serangan dan Dijarah Massa

Dari rekaman video yang beredar di Instagram, interior rumah tampak hancur.
Pakaian, dokumen, hingga perabot besar bertebaran di lantai.
Pada salah satu dinding, massa meninggalkan coretan bertuliskan “Kuya Bego!!”.
Warga sekitar menyebut massa masuk secara bergelombang, sebagian mengambil barang, sebagian lainnya merusak isi rumah. Tidak tampak aparat yang berjaga saat kejadian berlangsung.
Kemarahan Publik
Uya Kuya, anggota DPR dari PAN sekaligus figur publik, ikut terseret dalam kemarahan rakyat setelah video berjoget di Sidang Tahunan MPR pada 15 Agustus 2025 viral.
Aksi itu dinilai publik tidak pantas di tengah isu kenaikan tunjangan perumahan anggota DPR hingga Rp50 juta per bulan.
Nama Uya semakin banyak diteriakkan dalam demo besar 29 Agustus 2025 bersama Eko Patrio dan Ahmad Sahroni.
Bagi massa, mereka menjadi simbol ketidakpekaan wakil rakyat terhadap penderitaan ekonomi masyarakat.
Penyerangan terhadap rumah pribadi Uya Kuya menegaskan bahwa aksi massa tidak lagi terbatas di jalanan, tetapi menyasar langsung simbol elite politik.
Pakar menilai peristiwa ini adalah alarm serius atas krisis kepercayaan publik terhadap DPR.
Penjarahan rumah Uya Kuya menjadi bukti nyata amarah publik yang kian meluas.
Dari sekadar demonstrasi, kemarahan telah berubah menjadi aksi destruktif terhadap simbol-simbol elite.
Pemerintah dan DPR dituntut segera merespons dengan empati dan kebijakan nyata, bukan sekadar klarifikasi atau permintaan maaf terlambat.