banner DPRD Makassar 728x90
Berita

Perseteruan GMTD dan Kalla Soal Lahan Tanjung Bunga Disorot DPRD Sulsel

Avatar of Sulsel Times
8
×

Perseteruan GMTD dan Kalla Soal Lahan Tanjung Bunga Disorot DPRD Sulsel

Sebarkan artikel ini
Foto udara kawasan danau dan lahan kosong di Metro Tanjung Bunga Makassar dengan latar perumahan yang menjadi bagian dari pengembangan GMTD
Foto udara memperlihatkan hamparan air dan lahan di kawasan Metro Tanjung Bunga Makassar yang menjadi bagian dari area pengembangan GMTD dan tengah disorot karena sengketa kepemilikan lahan dengan PT Hadji Kalla. Dok ist.
WhatsApp Logo
Sulsel Times Hadir di WhatsApp Channel
Follow

Sulseltimes.com Makassar, Rabu, 05/11/2025 — Sengketa lahan seluas 16,5 hektare di kawasan Metro Tanjung Bunga, Makassar, terus bergulir antara PT Gowa Makassar Tourism Development Tbk dan PT Hadji Kalla sehingga memicu perhatian penegak hukum dan DPRD Sulawesi Selatan yang menilai ada dugaan penyimpangan pengelolaan aset serta saham sejak awal pendirian perusahaan pengembang tersebut.

Sengketa Lahan dan Isu Pemeriksaan Kejati Sulsel

Lahan yang diperebutkan berada di koridor utama Jalan Metro Tanjung Bunga.

banner DPRD Makassar 728x90

Kawasan ini selama bertahun tahun dikembangkan sebagai hunian dan pusat komersial di perbatasan Kota Makassar dan Kabupaten Gowa.

PT Gowa Makassar Tourism Development Tbk atau GMTD dikenal sebagai pengembang utama kawasan tersebut.

Perseroan tercatat sebagai perusahaan terbuka di Bursa Efek Indonesia dengan kode saham GMTD.

Di sisi lain, Kalla Group yang dimiliki keluarga Jusuf Kalla juga menyatakan telah lama menguasai sebagian lahan di area yang sama melalui PT Hadji Kalla.

Belakangan, sengketa antara GMTD dan PT Hadji Kalla atas lahan 16,5 hektare itu kembali mencuat.

Jusuf Kalla dikabarkan geram karena menilai lahan miliknya diserobot pengembang.

GMTD pada waktu yang sama tetap bersikukuh menyebut areal tersebut sah menjadi bagian dari land bank perusahaan.

Di tengah memanasnya konflik, beredar kabar bahwa manajemen GMTD dipanggil dan diperiksa Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan.

Sejumlah sumber menyebut pemeriksaan itu berkaitan dengan pengelolaan lahan di Tanjung Bunga.

Namun informasi tersebut segera dibantah berbagai pihak.

Public Relations PT GMTD Tbk, Angki, mengaku belum mengetahui adanya pemanggilan oleh kejaksaan.

Dari kubu PT Hadji Kalla, Corporate Communication and Sustainability Department Head Nadya Tyagita menegaskan perusahaannya juga belum pernah dipanggil terkait kasus itu.

Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Sulsel, Soetarmi, ikut memberikan klarifikasi.

Ia menyatakan setelah berkoordinasi dengan bagian penyidikan, tidak ada agenda pemeriksaan terhadap GMTD maupun kegiatan terkait lahan Tanjung Bunga pada hari yang dimaksud.

Soetarmi menegaskan tidak ada satu pun pemeriksaan yang berlangsung di kantor Kejati Sulsel terkait konflik lahan itu.

Pernyataan tersebut sekaligus meredam isu yang sempat beredar di kalangan publik Makassar.

Meski begitu, sengketa antara GMTD dan PT Hadji Kalla masih terus bergulir di ranah perdata maupun melalui saling klarifikasi di ruang publik.

Sorotan DPRD Sulsel, Struktur Saham, dan Potensi Kerugian Negara

Di luar isu pemeriksaan kejaksaan, DPRD Sulawesi Selatan mulai menyoroti lebih jauh pengelolaan saham dan aset GMTD.

Ketua Komisi D DPRD Sulsel, Kadir Halid, menyebut pihaknya menerima banyak informasi baru mengenai sejarah pembentukan perusahaan dan pola pengelolaannya setelah bersilaturahmi dengan sejumlah narasumber.

Menurut Kadir, terdapat indikasi manipulasi sejak awal pendirian GMTD.

Ia mencontohkan penerbitan izin prinsip melalui Surat Keputusan Gubernur yang menetapkan kawasan pengembangan Tanjung Bunga seluas sekitar 1.000 hektare sebagai kawasan wisata terpadu.

Berdasarkan kajian awal Komisi D, terdapat sejumlah hal yang dinilai tidak sejalan dengan ketentuan dalam SK Gubernur, terutama menyangkut konsep pengembangan sektor pariwisata.

Kadir kemudian menyoroti masuknya Grup Lippo dalam struktur perusahaan.

Setelah investor tersebut bergabung, muncul perusahaan lain yang beroperasi di luar mekanisme resmi GMTD.

Perusahaan baru itu diduga berperan sebagai holding yang mengendalikan aset lahan dan bahkan melakukan penjualan secara mandiri.

Akibatnya, GMTD seolah hanya menjadi nama formal tanpa kendali penuh terhadap asetnya sendiri.

“Perusahaan itu menjual lahan dan kepemilikannya seratus persen milik Lippo sehingga GMTD seperti hanya menjadi formalitas,” ungkap Kadir dalam satu kesempatan.

Komisi D menilai situasi ini berimplikasi langsung pada posisi pemerintah daerah sebagai pemegang saham.

Sejak awal pembentukan, komposisi saham GMTD dilaporkan terdiri atas Pemprov Sulsel sekitar 20 persen, Pemkot Makassar 10 persen, Pemkab Gowa 10 persen, sebuah yayasan 10 persen, serta saham milik Tenri Abeng juga 10 persen, di luar kepemilikan swasta lainnya.

Seiring berjalannya waktu, struktur kepemilikan berubah.

Berdasarkan laporan keuangan per 30 Juni 2025, kepemilikan saham GMTD tercatat sebagai berikut.

PT Makassar Permata Sulawesi memegang 32,50 persen saham.

Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan 13 persen.

Pemerintah Kota Makassar 6,5 persen.

Pemerintah Kabupaten Gowa 6,5 persen.

Yayasan Partisipasi Pembangunan Sulawesi Selatan 6,5 persen.

Masyarakat umum dengan kepemilikan masing masing di bawah 5 persen menguasai total 35 persen.

PT Makassar Permata Sulawesi sendiri merupakan entitas yang berafiliasi dengan PT Lippo Karawaci Tbk yang menjadi induk usaha sejumlah proyek properti Grup Lippo.

Dengan komposisi tersebut, Lippo memegang porsi saham non publik terbesar, yakni 32,5 persen, di GMTD.

Di sisi lain, Kadir menyoroti pembagian dividen yang diterima pemerintah daerah yang dinilai jauh dari ideal.

Berdasarkan informasi yang sampai ke DPRD, kinerja keuangan GMTD disebut mencatat laba hingga triliunan rupiah sepanjang operasional kawasan Tanjung Bunga.

Namun dividen yang diterima Pemprov Sulsel hingga saat ini dikabarkan hanya sekitar Rp6 miliar.

Pemerintah Kota Makassar sekitar Rp3 miliar, dan Pemerintah Kabupaten Gowa juga sekitar Rp3 miliar.

Komisi D menilai angka tersebut tidak sebanding dengan nilai aset dan keuntungan yang dilaporkan perusahaan.

Dengan dasar itu, DPRD Sulsel melihat adanya potensi kerugian negara atau daerah.

Kadir menegaskan perlunya penyelidikan komprehensif untuk menelusuri mengapa dividen yang diterima pemerintah sangat kecil meski perusahaan diklaim meraih keuntungan besar.

Jika di kemudian hari terbukti terdapat manipulasi atau rekayasa dalam pengelolaan aset dan saham, ia tidak menutup kemungkinan persoalan ini bergulir ke ranah pidana.

Hingga berita ini diturunkan, pihak GMTD belum memberikan tanggapan langsung atas pernyataan Kadir dan temuan awal Komisi D DPRD Sulsel.

Profil Singkat GMTD dan Proyek di Tanjung Bunga

Mengutip profil resmi perusahaan, GMTD adalah pengembang yang membangun kawasan terpadu Tanjung Bunga di barat daya Kota Makassar.

Luas potensial kawasan ini mencapai kurang lebih 1.000 hektare yang diproyeksikan untuk perumahan, komersial, dan pariwisata.

Perusahaan berdiri pada 14 Mei 1991 dengan nama PT Gowa Makassar Tourism Development Corporation.

Kemudian statusnya bertransformasi menjadi perusahaan terbuka dengan nama PT Gowa Makassar Tourism Development Tbk.

Sejumlah proyek residensial yang digarap GMTD antara lain Cendana Suites Waterfront City, XYZ Livin, dan New Vinca Residence.

Untuk segmen komersial, perusahaan mengembangkan area seperti Waterfront City Plaza, Mall Makassar, Upper Hills Convention Hall, dan beberapa fasilitas lain yang menempel di kawasan wisata pesisir.

Di tengah sengketa lahan dan sorotan terkait struktur kepemilikan tersebut, publik menunggu langkah lanjutan pemerintah daerah dan aparat penegak hukum untuk memastikan pengelolaan kawasan Tanjung Bunga tetap berpihak pada kepentingan warga dan tidak merugikan keuangan negara.

WhatsApp Logo
Ikuti Sulsel Times di
Google News
Follow
banner Pemerintah Kota Makassar 728x90
banner Dinas Penanaman Modal Makassar 728x90

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *