Politik

Danny Pomanto Sebut Pelantikan Kepala Daerah Tak Serentak Langgar Putusan MK

Avatar of sulseltimes
2
×

Danny Pomanto Sebut Pelantikan Kepala Daerah Tak Serentak Langgar Putusan MK

Sebarkan artikel ini
Foto Danny Pomanto Walikota Makassar saat memimpin upacara di Gedung Balaikota Makassar
Foto Danny Pomanto Walikota Makassar saat memimpin upacara di Gedung Balaikota Makassar (doc ist).
WhatsApp Logo
Sulsel Times Hadir di WhatsApp Channel
Follow

Sulseltimes.com Makassar – Wali Kota Makassar, Mohammad Ramdhan Pomanto, menegaskan bahwa pelantikan kepala daerah hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang dilakukan dalam dua gelombang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengamanatkan pelantikan serentak.

“Saya kira hasil MK kemarin sangat jelas karena saya penggugatnya. MK mengatakan pelantikan itu serentak sekali. Itu keputusan MK. Jadi keputusan MK kan mengikat, saya tidak tahu ini seperti apa,” ujar Ramdhan saat dikonfirmasi pada Selasa (28/1/2025).

Meskipun pelantikan dilakukan secara tidak serentak, Ramdhan menyatakan tidak memiliki masalah pribadi dengan keputusan tersebut.

“Kalau saya tidak ada masalah, karena saya berperkara sehingga tidak dilantik pada 6 Februari 2025,” tambahnya.

Menurutnya, dengan batalnya pelantikan serentak, para calon kepala daerah yang sedang berperkara di MK harus menunggu hasil putusan sebelum pelantikan dilakukan.

Danny Pomanto walikota Makassar
Foto Danny Pomanto (doc ist)

Hal ini menciptakan polemik mengenai jadwal pelantikan kepala daerah, antara keputusan MK dan kebutuhan daerah.

Bupati Indramayu, Nina Agustina, juga menyatakan kekecewaannya terhadap keputusan pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu yang sepakat melaksanakan pelantikan kepala-wakil kepala daerah hasil Pilkada 2024 secara bertahap mulai 6 Februari 2025.

Nina memprediksi bahwa keputusan ini akan menimbulkan masalah hukum di kemudian hari.

“Pasti akan digugat, bisa akan digugat. Putusan MK itu adalah putusan tertinggi yang harus kita hormati,” ujar Nina pada Senin (27/1/2025), dikutip dari Kompas.

Nina menegaskan bahwa keputusan ini sangat tidak sesuai dengan putusan MK yang menginstruksikan agar pelantikan dilakukan serentak.

Menurutnya, keputusan ini akan merugikan banyak kepala daerah yang telah menjabat dua periode, terutama mereka yang terpilih pada Pilkada 2020, karena masa jabatan mereka akan terpotong.

“Jadi, kalau merujuk SK (surat keputusan) pengangkatan saya sebagai bupati tuh, bahkan (masa jabatan saya) sampai 2026. Ini saja sudah terpotong banyak. Kalau saya, kan, niatnya hanya ingin bekerja,” tambah Nina.

Nina juga mengingatkan bahwa keputusan pelantikan yang bertahap ini melanggar beberapa aturan, termasuk Keputusan Mendagri No 131.32-266 Tahun 2021 yang menyatakan masa jabatan bupati selama lima tahun sejak pelantikan.

Selain itu, keputusan ini juga bertentangan dengan Putusan MK No 27/PUU-XXII/2024 yang menyebutkan bahwa kepala daerah hasil Pilkada 2020 dapat menjabat sampai pelantikan kepala daerah hasil Pilkada 2024, dengan batasan maksimal lima tahun masa jabatan.

Menanggapi polemik ini, Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, menyatakan bahwa pelantikan kepala daerah terpilih yang tidak ada sengketa di MK akan dilaksanakan pada 6 Februari 2025.

“Diusulkan oleh DPRD provinsi, kabupaten, dan kota kepada Presiden RI atau Menteri Dalam Negeri dilaksanakan pelantikan serentak pada tanggal 6 Februari 2025 oleh Presiden RI di Ibu Kota Negara,” ujarnya dalam rapat dengar pendapat umum di Gedung DPR, Senayan, Rabu (22/1/2025).

Namun, Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai bahwa pelantikan kepala daerah hasil Pilkada 2024 secara bergelombang tidak selaras dengan putusan MK.

“Hal itu mendistorsi desain keserentakan pelantikan sebagai bagian dari penyelenggaraan pilkada serentak yang juga membutuhkan koherensi keserentakan antartahapan pilkada, termasuk pengucapan sumpah/janji dan pelantikan pasangan calon terpilih,” ujarnya.

Titi juga menambahkan bahwa percepatan pelantikan kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2024 dapat memangkas masa jabatan kepala daerah hasil Pilkada Serentak 2020, yang seharusnya baru berakhir pada awal Desember 2025.

Polemik ini menimbulkan pertanyaan mengenai kepatuhan terhadap putusan MK dan dampaknya terhadap masa jabatan kepala daerah yang masih menjabat.

Keputusan pelantikan secara bertahap dianggap berpotensi menimbulkan masalah hukum di kemudian hari, terutama terkait masa jabatan kepala daerah yang terpotong.

Sementara itu, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mengusulkan dua opsi terkait pelantikan kepala daerah hasil Pemilihan Serentak 2024.

Opsi pertama adalah pelantikan serentak setelah seluruh sengketa di MK selesai, dan opsi kedua adalah pelantikan tidak serentak atau bergelombang bagi pasangan calon yang tidak bersengketa terlebih dahulu untuk mempercepat roda pemerintahan di daerah yang telah jelas hasil pemilihannya.

Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja, menjelaskan bahwa sesuai peraturan yang berlaku, Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dapat melantik bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota secara serentak.

Namun, hingga saat ini, belum ada keputusan final mengenai mekanisme pelantikan tersebut.

Dengan berbagai pandangan yang muncul, polemik mengenai pelantikan kepala daerah ini masih berlanjut.

Para pihak terkait diharapkan dapat menemukan solusi yang sesuai dengan putusan MK dan tidak merugikan pihak manapun, terutama para kepala daerah yang masa jabatannya berpotensi terpotong akibat keputusan ini.

WhatsApp Logo
Ikuti Sulsel Times di
Google News
Follow

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *