Nasional

Yusril Ihza Mahendra: Pengguna Narkotika Akan Direhabilitasi Bukan Dipenjara dalam KUHP Baru

0
Yusril Ihza Mahendra Pengguna Narkotika Akan Direhabilitasi, Bukan Dipenjara dalam KUHP Baru
Yusril Ihza Mahendra, doc istimewa.
Sulsel Times Hadir di WhatsApp Channel
Follow

Sulseltimes.com Jakarta, 15 Desember 2024 — Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, menyampaikan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru akan membawa perubahan besar dalam pendekatan hukum terhadap pengguna narkotika.

Dalam aturan yang akan diberlakukan pada Januari 2026 tersebut, pengguna narkotika dikategorikan sebagai korban yang memerlukan rehabilitasi, bukan hukuman penjara.

Apa yang Berubah?

Menurut Yusril, KUHP baru tidak lagi memandang pengguna narkotika sebagai pelaku kejahatan yang layak dijatuhi pidana penjara. Sebagai gantinya, mereka akan direhabilitasi melalui program yang telah dirancang untuk membina mereka secara fisik dan mental.

“Para pengguna narkotika tidak dipidana masuk lembaga pemasyarakatan (LP), tetapi mereka harus direhabilitasi,” ujar Yusril dalam orasi ilmiah di Wisuda Poltekip dan Poltekim, Jumat (13/12/2024).

Perubahan ini sejalan dengan semangat keadilan restoratif yang menjadi prinsip utama dalam KUHP baru. Pendekatan ini mengutamakan pembinaan dan rehabilitasi dibandingkan penghukuman semata.

Mengapa Penting?

Yusril menegaskan bahwa perubahan ini dilakukan untuk mengurangi jumlah warga binaan di lembaga pemasyarakatan yang saat ini telah melebihi kapasitas. “Dengan adanya perubahan ini, jumlah warga binaan akan berkurang drastis. Tapi bukan berarti mereka bebas, karena mereka tetap menjalani rehabilitasi,” ujarnya.

Pendekatan ini juga dianggap lebih manusiawi karena pengguna narkotika dikategorikan sebagai korban dari penyalahgunaan zat terlarang. Hal ini didasarkan pada filosofi hukum yang hidup di masyarakat Indonesia, termasuk hukum adat dan hukum Islam.

Bagaimana Mekanisme Rehabilitasi?

Rehabilitasi yang diwajibkan dalam KUHP baru hanya berlaku untuk pengguna narkotika, bukan pengedar atau bandar. Pengguna akan menjalani proses rehabilitasi berdasarkan putusan pengadilan, yang dapat berlangsung hingga tiga tahun.

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyatakan bahwa mekanisme rehabilitasi ini sebenarnya sudah ada dalam Pasal 127 UU Narkotika dan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010.

“Ini hanya mempertegas bahwa pengguna sebagai korban perlu diperlakukan dengan pendekatan rehabilitatif, bukan retributif,” kata Fickar.

Apa yang Harus Dipersiapkan?

Yusril menyebut bahwa pemerintah harus mempersiapkan sarana dan prasarana untuk menunjang rehabilitasi. “Tenaga rehabilitasi dan fasilitas pendukungnya harus ditingkatkan.

Mungkin perlu ada jurusan khusus di Poltekip yang mengajarkan cara merehabilitasi korban narkotika,” ujarnya.

Program rehabilitasi juga diharapkan melibatkan Kementerian Sosial dan lembaga terkait untuk memastikan pengguna narkotika mendapatkan pembinaan yang layak.

Penyusunan KUHP baru memakan waktu panjang dan melalui banyak perdebatan. Yusril mengungkapkan bahwa KUHP ini mengakomodasi filosofi hukum yang lebih dekat dengan hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, berbeda dengan sistem hukum kolonial Belanda yang cenderung represif.

“Jenis penghukuman kita kini sudah jauh berbeda dengan yang diwarisi dari zaman kolonial. KUHP baru ini lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia saat ini,” tambah Yusril.

Dalam pidatonya, Yusril juga meminta jajaran Poltekip untuk berinovasi menghadapi perubahan ini.

“Kita perlu menyesuaikan kurikulum dan pelatihan di Poltekip agar sesuai dengan kebutuhan rehabilitasi pengguna narkotika. Ini adalah peluang besar untuk kemajuan sistem pemasyarakatan kita,” tegasnya.

KUHP baru yang akan berlaku mulai Januari 2026 diharapkan menjadi terobosan hukum dalam menangani masalah narkotika.

Dengan mengutamakan keadilan restoratif, pengguna narkotika akan direhabilitasi sebagai korban, bukan lagi dihukum sebagai pelaku kejahatan.

Pendekatan ini tidak hanya bertujuan untuk mengurangi overkapasitas di lembaga pemasyarakatan tetapi juga menciptakan sistem hukum yang lebih manusiawi dan relevan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.

Ikuti Sulsel Times di
Google News
Follow
Exit mobile version