Sulseltimes.com — Komisi II DPR RI kembali membahas masalah anggaran yang terkait dengan penerimaan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), yang saat ini menjadi topik hangat dalam rapat dengan sejumlah kementerian dan lembaga.
Salah satu sorotan utama dalam pembahasan tersebut adalah besarnya dampak fiskal dari program PPPK, yang dianggap semakin memberatkan keuangan negara, terutama bagi pemerintah daerah.
Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Golkar, Taufan Pawe, dalam rapat yang berlangsung pada Rabu (12/2) di gedung Parlemen Jakarta, mengungkapkan keprihatinannya terhadap kebijakan penerimaan PPPK yang menurutnya semakin menjadi beban negara.
Menurutnya, meskipun program PPPK bertujuan untuk menyediakan tenaga kerja di berbagai sektor pemerintahan, dampaknya terhadap anggaran negara dan daerah justru menciptakan tantangan besar.
“Penerimaan PPPK ini betul-betul menjadi beban negara kita. Kita tidak bisa pungkiri, dan ini linear ke daerah,” ujar Taufan Pawe, yang juga menjabat sebagai Ketua Komisi II DPR.
Ia menambahkan bahwa beban ini tidak hanya dirasakan oleh pemerintah pusat, tetapi juga oleh pemerintah daerah yang menghadapi kesulitan dalam mengelola pengeluaran anggaran terkait PPPK.
Permasalahan PPPK di Daerah

Taufan menekankan bahwa kebijakan ini memunculkan berbagai masalah di tingkat daerah.
Salah satu permasalahan yang paling banyak dikeluhkan adalah dugaan pemalsuan dan rekayasa data pegawai yang dilakukan selama proses seleksi PPPK.
Hal ini memicu kekhawatiran bahwa banyak pegawai yang tidak sesuai dengan kriteria yang dibutuhkan, sementara banyak juga yang tidak memiliki kapasitas untuk mengisi posisi yang ada.
“Bahkan ada APBD provinsi daerah yang surplus, namun tetap kesulitan dalam membiayai pengeluaran untuk PPPK,” ungkap Taufan.
Ini menunjukkan bahwa meskipun beberapa daerah memiliki anggaran yang cukup, mereka tetap kesulitan mengalokasikan dana untuk memenuhi kewajiban terkait PPPK, yang semakin meningkat setiap tahun.
Lebih lanjut, Taufan juga menyoroti masalah seleksi yang dinilai kurang transparan, yang dapat menyebabkan ketidaksesuaian antara kualifikasi pegawai dan posisi yang diisi.
Ia meminta agar Badan Kepegawaian Negara (BKN) lebih teliti dalam menilai dan mengawasi proses seleksi serta penerimaan PPPK agar tidak menambah beban negara dan daerah lebih jauh lagi.
Beban Fiskal PPPK yang Meningkat
Taufan Pawe menegaskan bahwa program PPPK semakin memberikan tekanan pada anggaran negara, yang pada akhirnya berdampak pada perekonomian negara secara keseluruhan.
Anggaran negara yang terbatas tidak lagi mampu menutupi biaya yang dikeluarkan untuk membayar gaji pegawai PPPK, sementara sektor-sektor lain yang lebih membutuhkan anggaran terancam mengalami defisit.
“Negara memang harus hadir, tetapi ada keterbatasan kemampuan,” tambahnya, mengingat tidak semua daerah memiliki kapasitas fiskal yang cukup untuk mendukung penerimaan PPPK ini.
Ia mencatat bahwa beberapa daerah bahkan mengalami surplus dalam anggaran mereka, namun tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan PPPK yang semakin besar.
Hal ini menunjukkan ketidakseimbangan antara daerah yang memiliki anggaran besar dengan yang lebih kecil, serta kesulitan bagi daerah-daerah kecil dalam memenuhi kebijakan pusat yang mengharuskan penerimaan PPPK dalam jumlah besar.
Dalam rapat tersebut, Taufan menegaskan pentingnya evaluasi ulang terkait penerimaan PPPK agar kebijakan tersebut lebih realistis dan lebih sesuai dengan kemampuan keuangan daerah.
Evaluasi Kebijakan PPPK oleh BKN
Salah satu poin penting dalam rapat tersebut adalah permintaan Taufan Pawe agar Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN), Zudan Arif, melakukan evaluasi kembali terhadap kebijakan PPPK.
Ia mengusulkan agar kebijakan tersebut ditinjau dengan lebih rasional dan mengedepankan pemikiran yang lebih visioner, dengan melihat permasalahan secara kasus per kasus.
Taufan menginginkan agar BKN mempertimbangkan kondisi keuangan daerah dan kapasitas fiskal mereka dalam menentukan kebijakan PPPK yang akan datang.
“Dibutuhkan pemikiran yang rasional dan visioner supaya permasalahan ini bisa dilihat secara kasuistis,” tegas Taufan.
Ini menunjukkan bahwa Komisi II DPR sangat mengharapkan adanya pendekatan yang lebih fleksibel dan sesuai dengan situasi yang dihadapi masing-masing daerah, agar kebijakan PPPK dapat diterima dan diterapkan secara efektif tanpa menambah beban yang berlebihan.
Komisi II Sepakati Efisiensi Anggaran BKN
Dari total pagu anggaran 2025 yang semula sebesar Rp 798 miliar, anggaran tersebut dipangkas sebesar Rp 195 miliar, sehingga anggaran BKN yang disetujui untuk tahun 2025 adalah Rp 603 miliar.
Pangkasang anggaran ini merupakan bagian dari upaya efisiensi anggaran yang dilakukan oleh Pemerintah dalam menghadapi tantangan ekonomi global yang semakin berat.
Namun, meskipun terjadi pengurangan, Komisi II DPR berharap agar efisiensi tersebut tidak mengganggu kelancaran program-program BKN, khususnya yang terkait dengan penerimaan PPPK dan pengelolaan kepegawaian negara.
Penerimaan PPPK kembali menjadi sorotan utama dalam rapat Komisi II DPR terkait efisiensi anggaran.
Taufan Pawe menegaskan bahwa program ini telah menjadi beban negara dan pemerintah daerah, terutama di tengah upaya efisiensi anggaran yang sedang dilakukan Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Ia meminta agar BKN mengevaluasi ulang kebijakan PPPK dengan lebih realistis, mempertimbangkan kondisi fiskal daerah, serta memberikan perhatian lebih pada permasalahan yang terjadi dalam seleksi dan data pegawai.
Dalam rapat tersebut, Komisi II juga menyepakati efisiensi anggaran untuk BKN, yang diharapkan dapat membantu pemerintah mengelola anggaran dengan lebih bijak.
Kebijakan PPPK, meskipun penting, harus dipertimbangkan kembali agar tidak membebani negara dan daerah lebih jauh lagi.
Komisi II berharap agar pemerintah dan BKN dapat merumuskan solusi yang lebih adil dan sesuai dengan kemampuan keuangan daerah di masa yang akan datang.