Sulseltimes.com Makassar, 9 Desember 2024 – Setelah hasil Pilkada serentak 2024 diumumkan, banyak pasangan calon (paslon) yang merasa tidak puas dengan perolehan suara yang diterima.
Salah satu opsi yang tersedia bagi paslon yang merasa dirugikan adalah menggugat hasil Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Namun, ada beberapa syarat penting yang harus dipenuhi sebelum gugatan ini dapat diproses, salah satunya adalah selisih suara maksimal yang ditentukan oleh undang-undang.
Syarat-syarat selisih suara yang harus dipenuhi oleh paslon yang ingin mengajukan sengketa hasil Pilkada, serta prosedur yang perlu diikuti dalam proses gugatan tersebut.
Apa Itu Syarat Selisih Suara untuk Menggugat Pilkada?
Dalam sistem pemilu Indonesia, Mahkamah Konstitusi (MK) adalah lembaga yang memiliki kewenangan untuk memutuskan sengketa hasil Pilkada.
Namun, gugatan ke MK hanya dapat diajukan jika selisih suara antara paslon yang menang dan yang kalah memenuhi ambang batas tertentu.
Ambang batas ini diatur dalam Pasal 158 UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang mengatur selisih suara maksimal yang dapat digugat berdasarkan jumlah penduduk di daerah tersebut.
Syarat ini diterapkan untuk memastikan bahwa gugatan yang diajukan memang berkaitan dengan perbedaan suara yang signifikan, bukan hanya karena perbedaan suara yang kecil atau tidak mempengaruhi hasil Pilkada secara substansial.
Dengan adanya aturan ini, diharapkan proses pemilu bisa lebih efisien, adil, dan menghindari gugatan yang tidak berdasar.
Ambang Batas Selisih Suara Berdasarkan Jumlah Penduduk
Setiap daerah memiliki ambang batas selisih suara yang berbeda-beda, tergantung pada jumlah penduduknya. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai batasan yang dimaksud:
- Provinsi dengan jumlah penduduk lebih dari 12 juta jiwa: Selisih suara maksimal yang dapat digugat adalah 0,5 persen dari total suara sah.
- Provinsi dengan jumlah penduduk 6 juta hingga 12 juta jiwa: Ambang batasnya adalah 1 persen dari total suara sah.
- Provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta hingga 6 juta jiwa: Selisih suara maksimal adalah 1,5 persen dari suara sah.
- Provinsi dengan jumlah penduduk kurang dari 2 juta jiwa: Selisih suara yang dapat digugat adalah 2 persen dari total suara sah.
Sedangkan untuk kabupaten/kota, ambang batas selisih suara dihitung berdasarkan jumlah penduduk, dengan rincian sebagai berikut:
- Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk hingga 250 ribu jiwa: Selisih suara maksimal yang dapat digugat adalah 2 persen.
- Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 250 ribu hingga 500 ribu jiwa: Batasnya adalah 1,5 persen.
- Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 500 ribu hingga 1 juta jiwa: Ambang batasnya adalah 1 persen.
- Kabupaten/kota dengan jumlah penduduk di atas 1 juta jiwa: Selisih suara maksimal yang dapat digugat adalah 0,5 persen.
Sebagai contoh, jika Pilkada Sulawesi Selatan diikuti oleh lebih dari 9 juta jiwa, maka ambang batas untuk menggugat adalah 1 persen dari total suara sah.
Dengan kata lain, jika selisih suara antara paslon yang menang dan kalah kurang dari 1 persen, maka paslon yang kalah memiliki hak untuk mengajukan gugatan ke MK.
Kenapa Syarat Selisih Suara Ini Penting?
Syarat ini penting untuk menghindari gugatan yang tidak relevan dan memastikan bahwa hanya sengketa yang substansial yang diproses.
Jika selisih suara sangat kecil, itu dapat menunjukkan adanya kesalahan teknis atau manipulasi yang tidak signifikan, yang tidak mempengaruhi hasil pemilu secara keseluruhan.
Dalam hal ini, MK akan menolak gugatan tersebut untuk menjaga efisiensi dan keadilan proses pemilu.
“Penerapan batasan selisih suara ini bertujuan agar hanya perbedaan suara yang signifikan yang dapat menggugah Mahkamah Konstitusi. Kami ingin agar setiap gugatan memiliki dasar hukum yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan,” kata Hifdzil, seorang pakar hukum pemilu dalam wawancaranya.
Dengan adanya batasan ini, juga diharapkan untuk menghindari penggunaan gugatan sebagai alat untuk menunda pelantikan kepala daerah terpilih yang sudah diputuskan oleh KPU.
Prosedur Gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK)
Jika selisih suara memenuhi ambang batas yang ditentukan, paslon yang kalah memiliki waktu tiga hari setelah hasil Pilkada diumumkan untuk mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Gugatan ini harus disertai dengan bukti-bukti yang kuat, baik terkait pelanggaran pemilu maupun ketidakberesan dalam proses penghitungan suara.
Pihak yang menggugat wajib menyediakan bukti-bukti yang meyakinkan bahwa terdapat ketidaksesuaian antara suara yang dihitung dan suara yang sebenarnya diberikan oleh pemilih.
Bukti pelanggaran bisa berupa dokumen pemilu yang tidak sah, penggunaan suara ganda, atau manipulasi hasil penghitungan suara.
Setelah menerima gugatan, MK akan memproses dan memverifikasi semua bukti yang disampaikan, kemudian memutuskan apakah gugatan tersebut diterima atau tidak.
Jika MK menerima gugatan, mereka bisa memutuskan untuk membatalkan hasil Pilkada atau bahkan memerintahkan pemungutan suara ulang di daerah yang terdampak.
Dampak Jangka Panjang dari Gugatan Pilkada ke MK
Gugatan yang diterima atau ditolak oleh MK bisa berdampak besar pada kepercayaan publik terhadap sistem pemilu.
Jika MK memutuskan untuk menerima gugatan dan membatalkan hasil Pilkada, hal itu dapat mengguncang integritas pemilu dan mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap KPU serta sistem demokrasi secara keseluruhan.
“Keputusan MK akan menjadi penentu apakah hasil pemilu benar-benar mencerminkan suara rakyat atau ada kecurangan yang perlu diperbaiki.
Itulah kenapa proses ini sangat penting, baik bagi demokrasi maupun bagi stabilitas politik kita,” jelas Rizal Hidayat, seorang pengamat politik di Universitas Hasanuddin.
Selain itu, proses ini dapat mempengaruhi pelantikan kepala daerah yang terpilih. Pelantikan tidak bisa dilakukan hingga keputusan final dari MK diterima.
Proses yang panjang dan penuh ketidakpastian ini bisa memengaruhi pemerintahan daerah dan mengganggu program-program pembangunan yang telah direncanakan.
Proses gugatan hasil Pilkada ke Mahkamah Konstitusi bukan hanya soal menang atau kalah bagi para calon, tetapi juga tentang menjaga keadilan dan integritas dalam pemilihan umum.
Syarat selisih suara yang ditetapkan dalam Pasal 158 UU Pemilu bertujuan untuk memastikan bahwa hanya gugatan yang sah dan berdampak signifikan yang dapat dilanjutkan.
Ini juga memberikan gambaran bahwa pemilu Indonesia berjalan dengan prinsip transparansi, keadilan, dan kejujuran.
Namun, penting bagi semua pihak untuk memahami batasan yang ada dan tidak menggunakan gugatan sebagai alat untuk menunda proses pelantikan atau untuk menggugat hasil yang sebenarnya sah.
Sebagai bagian dari proses demokrasi, setiap gugatan harus berlandaskan pada bukti yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pentingnya menjaga proses ini dengan jujur dan transparan akan memastikan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap pemilu dan sistem demokrasi tetap terjaga di masa depan.