Sulseltimes.com, Jakarta — Tepat satu tahun telah berlalu sejak Kementerian Kesehatan, dengan dukungan aparat Satpol PP dan bermodalkan surat hak pakai dari ATR/BPN, mengambil alih secara sepihak gedung pusat milik Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Aksi pengambil alihan ini berlangsung pada 10 Juli 2024, tanpa proses serah terima, tanpa dialog, dan tanpa kejelasan hukum yang layak.
Gedung yang telah menjadi simbol perjuangan kesehatan dan kemanusiaan sejak tahun 1970 itu kini bukan lagi menjadi milik PKBI. Bangunan tersebut berdiri kokoh di atas lahan yang pada masa itu dihibahkan oleh Gubernur DKI Jakarta kepada PKBI sebagai bentuk pengakuan atas kontribusi nyata organisasi ini dalam mendukung agenda pembangunan kesehatan nasional.
Namun, pada kenyataannya hari ini, penghargaan itu seakan dilupakan begitu saja.
Jejak Perjuangan Tak Terbantahkan
Gedung itu bukan sekadar tumpukan beton dan batu. Ia adalah rumah perjuangan, saksi bisu dari perjalanan panjang sebuah organisasi sipil yang digagas oleh dr. Soeharto dokter pribadi Presiden Soekarno, pendiri Ikatan Dokter Indonesia (IDI), dan tokoh pelopor gerakan Keluarga Berencana di Indonesia.
Di bawah bendera PKBI yang ia dirikan pada tahun 1957, dr. Soeharto dan ribuan relawan lainnya bergerak dalam sunyi, mendampingi masyarakat yang kala itu belum terjangkau oleh layanan kesehatan pemerintah. Melalui pelatihan ribuan Petugas Lapangan Keluarga Berencana (PLKB), penyediaan klinik layanan reproduksi, hingga advokasi kesehatan ibu dan anak, PKBI mengisi kekosongan layanan negara dengan kerja yang nyata dan berkelanjutan.
Tak hanya itu, PKBI juga turut melahirkan tonggak penting dalam sejarah Indonesia: lahirnya Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), yang kini menjadi Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Semua itu bermula dari kerja senyap di gedung yang kini diduduki itu.
Angka yang Berbicara Nyawa
Sejak awal berdiri, PKBI turut memainkan peran krusial dalam menekan angka kematian ibu (AKI) di Indonesia. Jika pada tahun 1957 AKI tercatat sekitar 1.500 kematian per 100.000 kelahiran hidup, angka itu berhasil ditekan menjadi 650 pada 1987, lalu 307 pada 2000, hingga menyentuh angka 230 pada 2020.
Di balik statistik itu, tersembunyi kisah para ibu yang selamat dari komplikasi kehamilan, anak-anak yang tidak menjadi yatim, serta keluarga yang tetap utuh. Semua itu adalah buah dari kerja ribuan relawan dan tenaga PKBI yang tersebar di 25 provinsi, 186 kabupaten/kota, dan lebih dari 3.378 titik layanan di seluruh Indonesia.
Namun kini, organisasi yang telah menyelamatkan begitu banyak nyawa itu justru terusir dari rumahnya sendiri.
Bukan Karena Kami Menyerah, Tapi Karena Kami Dipaksa Diam
Pengambil alihan gedung PKBI bukan hanya soal fisik bangunan tetapi soal hilangnya ruang perjuangan, dan terampasnya tempat lahirnya sejarah penting kesehatan Indonesia. Sejak 10 Juli 2024, tidak ada klarifikasi resmi dari pemerintah, tidak ada ruang dialog, dan tidak ada pengakuan atas jasa yang telah diberikan selama lebih dari 60 tahun.
“Kami tidak menginginkan konflik. Kami menginginkan keadilan. Kami tidak mendambakan kemewahan. Kami hanya meminta penghormatan atas jejak dan pengabdian,” ujar ketua pengurus nasional PKBI, DR. Ichsan Malik, M.Si, dalam pernyataan sikapnya di Gedung Baru PKBI, Jakarta, Kamis (10/7/2025).
Menuntut Keadilan, Menjaga Sejarah
Dalam semangat membangun kemitraan yang sehat dan berkeadaban, serta demi melanjutkan cita-cita luhur dr. Soeharto untuk mewujudkan Indonesia yang sehat, adil, dan manusiawi, PKBI menyampaikan lima tuntutan kepada Kementerian Kesehatan, khususnya Direktorat Jenderal Tenaga Kesehatan (Ditjen Nakes):
Pemberian kompensasi yang adil dan layak atas pemanfaatan gedung PKBI yang dilakukan secara sepihak tanpa izin resmi.
Penegasan komitmen lisan menjadi dokumen tertulis yang mengikat secara hukum terkait alokasi tanah dan bangunan untuk operasional PKBI.
Pemberian izin penggunaan gedung PKBI tanpa batas waktu, selama PKBI tetap menjalankan program-program pelayanan kesehatan dan kemanusiaan untuk masyarakat.
Pembebasan kewajiban sewa gedung, mengingat kontribusi historis dan peran strategis PKBI dalam pembangunan kesehatan nasional sejak 1957.
Izin penggunaan alamat gedung di Hang Jebat III/F.3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan sebagai alamat resmi organisasi untuk korespondensi dan operasional.
Untuk Apa Sejarah Jika Tidak Dihargai?
PKBI tidak sedang mencari panggung. Organisasi ini hanya ingin dikenang dengan hormat, dan dilibatkan secara adil dalam masa depan yang sedang dibangun bersama. Karena perjuangan kesehatan adalah kerja lintas generasi, bukan agenda politis sesaat.
“Apakah jasa hanya dikenang saat upacara? Apakah pengabdian harus kalah oleh kekuasaan administratif?” itulah pertanyaan yang hingga hari ini belum dijawab oleh negara.
Kini, PKBI kembali bersuara. Bukan untuk menciptakan kegaduhan. Tapi untuk mengingatkan bahwa di tengah hiruk-pikuk pembangunan, jangan sampai kita melupakan akar tempat sejarah ditanam dan pengabdian tumbuh. (*/And)