Hukum & PeristiwaBerita

Pengadilan Eksekusi Lahan di Pettarani Makassar 12.932 Meter Tapi Ahli Waris Klaim Ada Mafia Peradilan

12
Pengadilan Eksekusi Lahan Makassar 12.932 Meter Tapi Ahli Waris Klaim Ada Mafia Peradilan
Ahli waris menunjukkan sertifikat tanah terkait eksekusi lahan di perttarani (doc ist)
Sulsel Times Hadir di WhatsApp Channel
Follow

Sulseltimes.com Makassar — Eksekusi lahan seluas 12.932 meter persegi yang terletak di Jalan Andi Pangeran Pettarani, Kecamatan Panakukang, Makassar, yang memicu perlawanan hukum dan kericuhan, kembali mencuri perhatian publik. 

Lahan yang sebelumnya dihuni oleh gedung eks sekolah Yayasan Hamrawati dan sembilan rumah toko (ruko) ini masih diperebutkan oleh dua pihak yang saling mengklaim kepemilikan sah. 

Eksekusi tersebut dilakukan berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri Makassar yang memutuskan bahwa Andi Baso Matutu adalah pemilik sah tanah tersebut.

Proses eksekusi bangunan ini diwarnai dengan ketegangan. 

Aparat kepolisian yang mengawal jalannya pembongkaran bangunan terpaksa mengamankan tiga orang setelah terjadi kericuhan. 

Selain itu, lokasi eksekusi yang berada di jalan protokol juga menyebabkan kemacetan lalu lintas yang cukup signifikan. 

Eksekusi ini dilaksanakan berdasarkan penetapan Pengadilan Negeri Makassar Nomor 05 EKS/2021 PN Mks jo Nomor 49/Pdt.G/2018/PN.Mks yang dibacakan pada Kamis (13/2/2025) dan didampingi oleh aparat kepolisian.

Sengketa Lahan yang Sudah Bergulir Sejak 2018

Ahli waris menunjukkan sertifikat tanah terkait eksekusi lahan di perttarani (doc ist)

Sengketa lahan ini sudah berlangsung sejak tahun 2018 dan melibatkan pihak penggugat, Andi Baso Matutu, yang memenangkan gugatan kepemilikan atas tanah tersebut melalui beberapa proses hukum. 

“Sengketa lahan ini sudah bergulir sejak 2018. Klien kami, Andi Baso Matutu, dinyatakan menang di pengadilan dari putusan tahun 2018 hingga 2020 dan telah diakui sebagai pemilik sah tanah tersebut,” jelas Hendra Karianga, Penasehat Hukum penggugat, dalam keterangannya kepada media.

Hendra menambahkan bahwa Andi Baso Matutu memenangkan gugatan berdasarkan putusan Pengadilan Negeri Makassar No.49/Pdt/2018/PN.Mks, Pengadilan Tinggi Makassar No.133/PDT/2019/PT MKS, dan Mahkamah Agung dalam pemeriksaan Kasasi No.2106 K/Pdt/2020. Putusan ini semakin diperkuat dengan dua kali putusan Peninjauan Kembali (PK) yang membenarkan klaim Andi Baso Matutu atas lahan tersebut.

Namun, pihak tergugat, yang terdiri dari ahli waris pemilik tanah, mengajukan perlawanan hukum terhadap eksekusi ini dengan alasan bahwa dokumen yang digunakan oleh penggugat diduga palsu. Mereka juga mengklaim bahwa sertifikat hak milik (SHM) yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak sah, karena berdasarkan putusan pidana yang membatalkan dokumen tersebut. 

“SHM itu di atas alas hak rincik dan sudah dibatalkan. 

Dasar putusan pidana itu kami gunakan untuk mengajukan gugatan di pengadilan agar membatalkan dan menyatakan tidak sah secara hukum,” tegas Hendra saat di sela-sela eksekusi berlangsung.

Tuduhan Pemalsuan Dokumen oleh Pihak Penggugat

Muh Jurdi bin Tjollen Daeng Marala, ahli waris pemilik lahan yang merupakan salah satu tergugat, memberikan pernyataan lebih lanjut mengenai dugaan pemalsuan dokumen yang dilakukan oleh Andi Baso Matutu. 

“Penggugat telah memalsukan dokumen surat keterangan dari kecamatan terkait klaim lokasi yang dijadikan dasar gugatan. Kami telah melaporkan pemalsuan ini, dan yang bersangkutan sempat dipenjara,” ujar Muh Jurdi.

Jurdi menjelaskan bahwa surat keterangan yang digunakan sebagai dasar klaim penggugat merupakan dokumen palsu, yang diterbitkan oleh Camat Panakukang pada 12 April 2004, yang seharusnya tidak berkaitan dengan lokasi lahan yang sedang disengketakan. 

“Dasarnya surat keterangan pembatalan nomor 220/KSJ/IV/04 perihal persil (lokasi) ditandatangani Camat Panakukang, Muchtar Kasim, pada 12 April 2004,” jelasnya.

Jurdi juga menyebutkan bahwa surat keterangan yang digunakan oleh penggugat sudah dibatalkan berdasarkan putusan pidana dan tidak memiliki kekuatan hukum yang sah. 

“Namun ironisnya, surat palsu ini tetap digunakan sebagai bukti oleh penggugat dan memenangkan kasus ini di pengadilan,” katanya.

Pelanggaran Etik dalam Proses Hukum dan Pengabaian Dokumen Sah

Pihak ahli waris juga menyoroti adanya dugaan pelanggaran etik dalam proses hukum yang terjadi di pengadilan. Mereka merasa sangat dirugikan karena dokumen asli yang sah, termasuk dokumen jual beli tanah yang dibeli oleh kakek mereka, H Tjolleng Daeng Marala, tidak dipertimbangkan dalam persidangan. 

“Ada bukti asli berupa akte jual beli tanah yang dilakukan pada tahun 1938, dan dokumen jual beli yang sah pada 1957, namun ini sengaja diabaikan dalam persidangan,” ungkap Jurdi dengan kecewa.

Dia mengungkapkan bahwa mereka juga memiliki dokumen penting yang menunjukkan bahwa tanah tersebut telah dibeli oleh kakeknya seharga Rp750 pada tahun 1938 melalui surat lelang yang dikeluarkan oleh pemerintahan Belanda. 

Selain itu, ada dokumen pembelian tanah oleh H Tjolleng Daeng Marala pada 1957 yang dikeluarkan oleh Kepala Distrik Karawisi Kabupaten Gowa saat itu. 

Namun, dokumen-dokumen ini tidak diperhitungkan dalam putusan pengadilan.

Perlawanan Hukum dan Keberlanjutan Kasus

Jurdi menegaskan bahwa mereka tidak akan menerima begitu saja eksekusi yang dilakukan dan akan melanjutkan perlawanan hukum. 

“Kami yang digugat segera melakukan perlawanan hukum, dan tidak terima atas eksekusi ini. Sangat jelas ada mafia peradilan dalam kasus ini, bisa-bisanya dokumen fotokopi dimenangkan, sementara kami memiliki dokumen asli yang sudah terverifikasi keabsahannya,” katanya.

Pihak ahli waris juga menyebutkan bahwa meskipun mereka telah mengajukan bukti yang sah, dokumen-dokumen tersebut tidak dipertimbangkan dalam proses hukum. 

Mereka berencana untuk mengajukan gugatan baru atas keputusan pengadilan yang menurut mereka cacat hukum dan tidak adil. 

“Saya sudah melakukan PK 2, tapi yang masih PK 1 adalah sepupu Hamrawati. Kami akan terus berjuang untuk keadilan,” ujar Jurdi dengan semangat.

Eksekusi lahan yang terletak di Jalan AP Pettarani Makassar ini bukan hanya soal pengosongan bangunan, tetapi juga tentang klaim kepemilikan yang panjang dan rumit antara pihak penggugat dan tergugat. 

Meski pengadilan telah mengeluarkan keputusan yang mengakui Andi Baso Matutu sebagai pemilik sah, pihak ahli waris masih mempertanyakan keabsahan dokumen yang diajukan oleh penggugat dan menilai ada kelalaian serta ketidakadilan dalam proses hukum yang berjalan.

Kasus ini memperlihatkan bagaimana sengketa tanah yang melibatkan dokumen yang dipertentangkan bisa berlanjut ke pengadilan, dengan pihak-pihak yang merasa dirugikan tetap berusaha memperjuangkan hak-hak mereka melalui perlawanan hukum lebih lanjut. 

Proses hukum yang panjang dan penuh kontroversi ini menunjukkan betapa rumitnya sengketa tanah di Indonesia, yang kadang-kadang melibatkan mafia peradilan, pemalsuan dokumen, dan penyalahgunaan wewenang.

Dengan bukti-bukti yang terus dipertentangkan dan keputusan pengadilan yang belum dapat diterima sepenuhnya, sengketa ini dipastikan masih akan berlanjut. 

Akankah eksekusi ini akhirnya sah di mata hukum, atau masih ada jalan panjang yang harus dilalui oleh pihak-pihak yang terlibat? Kita tunggu perkembangan lebih lanjut dari kasus sengketa ini.

Ikuti Sulsel Times di
Google News
Follow
Exit mobile version