Sulseltimes.com Makassar, 18 Desember 2024 – Dampak kenaikan PPN 12 persen pada barang dan jasa tertentu, termasuk makanan premium, mulai 1 Januari 2025, menjadi sorotan publik karena dikhawatirkan akan menekan konsumsi rumah tangga di tengah perekonomian yang belum pulih sepenuhnya.
Kebijakan ini mencakup sejumlah bahan makanan premium seperti daging wagyu, salmon, dan king crab, yang sebelumnya dibebaskan dari pajak.
Perhatian masyarakat semakin meningkat setelah sejumlah ekonom, pelaku usaha, dan analis memberikan pandangan dalam 24 jam terakhir terkait implikasi kebijakan tersebut.
Pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani
Dalam konferensi pers yang digelar kemarin (17/12), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa kenaikan PPN ini bertujuan untuk meningkatkan keadilan dalam sistem perpajakan.
“Pajak ini hanya menyasar barang mewah, yang selama ini lebih banyak dinikmati oleh kelompok masyarakat kelas atas. Hal ini sejalan dengan prinsip gotong royong untuk mendorong kontribusi lebih besar dari mereka yang mampu,” ungkapnya.
Sri Mulyani juga menegaskan bahwa kebutuhan pokok seperti beras biasa, daging sapi non-premium, gula, dan minyak goreng tetap bebas PPN. “Kami pastikan barang-barang kebutuhan pokok yang digunakan masyarakat luas tidak terpengaruh oleh kebijakan ini,” tambahnya.
Baca Juga: Daftar Makanan Kena PPN 12 Persen 2025
Ekonom: Tekanan Pada Konsumsi Rumah Tangga
Namun, analis ekonomi dari Center of Economic & Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, memperingatkan bahwa dampak kenaikan PPN 12 persen dapat memicu inflasi yang signifikan.
“Dengan adanya kenaikan PPN ini, konsumsi rumah tangga yang menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia akan tertekan. Kelompok menengah ke bawah bisa kehilangan daya beli hingga Rp 101.880 per bulan, sementara kelas menengah atas akan kehilangan sekitar Rp 354.293 per bulan,” ujarnya saat dikutip dari Tribun Timur.
Di Sulawesi Selatan, pelaku usaha kecil dan menengah (UMKM) juga mulai khawatir terhadap dampak kebijakan ini.
Haryanto, seorang pedagang ikan di Pasar Terong, Makassar, mengatakan bahwa harga ikan premium seperti salmon dan tuna yang dikenakan PPN 12 persen akan mengurangi pembelian dari pelanggan.
“Pembeli pasti berpikir dua kali untuk membeli. Mereka akan beralih ke ikan lokal yang lebih murah,” katanya.
Sementara itu, pengelola restoran kelas atas di Pantai Losari, Anindya Saraswati, menyatakan bahwa kenaikan PPN pada bahan makanan premium seperti daging wagyu dan king crab dapat mengurangi margin keuntungan mereka.
“Kami harus menyesuaikan harga menu, tetapi itu berisiko menurunkan minat pelanggan,” jelasnya.
Bantuan untuk Masyarakat Kurang Mampu
Sebagai upaya mitigasi, pemerintah juga mengumumkan program bantuan pangan bagi masyarakat kurang mampu.
“Mulai Januari hingga Februari 2025, pemerintah akan menyalurkan beras 10 kilogram per bulan kepada 16 juta penerima bantuan,” terang Kepala Badan Pangan Nasional, Arief Prasetyo Adi.
Namun, Bhima Yudhistira menyebut bahwa langkah ini hanya bersifat sementara.
“Bantuan pangan ini hanya berlangsung dua bulan, sedangkan dampak kenaikan PPN 12 persen bisa dirasakan lebih lama,” tambahnya.
Baca Juga: Daftar Barang Mewah Kena PPN 12 Persen 2025
Dampak Jangka Panjang
Menurut para analis, dampak jangka panjang dari kebijakan ini dapat memengaruhi struktur konsumsi masyarakat.
Barang-barang premium yang dikenakan pajak lebih tinggi kemungkinan akan mengalami penurunan permintaan, yang pada akhirnya dapat berdampak pada sektor usaha terkait.
Di sisi lain, ada potensi peningkatan pendapatan negara dari pajak ini yang dapat digunakan untuk mendukung pembangunan infrastruktur atau program sosial lainnya.
“Pemerintah harus memastikan bahwa dana yang dihasilkan dari kenaikan PPN ini benar-benar digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara merata,” ujar Bhima.
Dampak kenaikan PPN 12 persen diharapkan mampu menciptakan keadilan dalam sistem perpajakan dengan menargetkan barang-barang mewah.
Namun, tekanan terhadap konsumsi rumah tangga, khususnya di Sulawesi Selatan, perlu diawasi dengan seksama. Pemerintah diharapkan tidak hanya fokus pada penerimaan pajak, tetapi juga memastikan bahwa masyarakat kelas menengah ke bawah tidak semakin terhimpit.
Bantuan pangan dan program sosial lainnya perlu diperluas agar daya beli masyarakat tetap terjaga di tengah tekanan ekonomi yang diperkirakan berlangsung jangka panjang.